Ini adalah sebuah cerpen eksperimental, ditulis bergantian bersama teman saya, Septin, selama semalaman ditambah sedikit pagi.
Ya, memang terinspirasi dari proses pembuatan kumpulan cerpen terbarunya Djenar Maesa Ayu yang dia tulis bergantian bersama 14 orang.
Dan ya, sepertinya memang banyak cacat, kami serahkan penilaian pada langit.
Malam datang terlalu cepat, setidaknya itulah yang dirasakan oleh lelaki itu. Rembulan yang kebetulan sedang purnama, dan lampu jalan yang kebetulan menyala di depannya, membuat pemandangan yang ganjil dan indah. Tapi bagi lelaki itu semua ini hanya ganjil, tanpa indah.
Ada seorang perempuan yang berdiri dibawah lampu, entah sedang apa, entah sedang menunggu siapa, entah sedang menghitung berapa banyak sebuah apa.
"Apakah kamu juga merasa malam ini datang begitu cepat?" tanya si lelaki, pada perempuan yang sesungguhnya tidak pernah dia kenal itu.
Alih-alih menjawab, perempuan itu semakin merapatkan jaket cokelatnya, erat membalut tubuh. Malam bisa kian kejam dengan desiran angin yang menggigit. Persis seperti gigi yang mengulum es.
Ia tak menggeleng. Hanya menatap. Tak menjawab. Hanya mendesah.
"Cepat atau lambat... adakah yang lebih ditakutkan manusia daripada waktu yang berputar, eh? Seperti kamu sekarang. Seakan-akan manusia memang hidup hanya demi waktu yang berputar. Huft."
Perempuan itu menendang batu, bak waktu.
"Untuk apa lagi kita hidup jika bukan untuk terus berperan dalam memutar roda raksasa pemutar waktu? Kita terus ber-regenerasi, kita terus berubah, kita terus berjuang mati-matian menolak tua, tapi tetap sang waktulah yang menang, dan sialnya kita hanya bisa diam melihat dia mengkhianati kita. Ah lupakan. Omong-omong, jam berapa sekarang?" kata si lelaki.
"Aku tak memakai jam--dan tak ingin memakainya. Jika semua hal dalam hidup ditentukan dengan
deadline... usiamu dalam kandungan, waktu yang diharapkan cemas kedua orangtuamu hingga menapak langkah pertama, bahkan menjelang nyawamu terenggut, huh, aku memilih untuk mengabaikan waktu sebisaku. Maaf. Aku tak tahu jam berapa sekarang. Omong-omong, kenapa kau memanggilku kesini?"
Perempuan itu memilih ayunan bercat merah terkelupas, menjejakkan kakinya dan mulai berayun. Kembali, mengusir waktu. Menunggu lelaki itu berucap, entah apa.
Sementara bulan semakin membulat dan lampu jalan semakin meredup, lelaki itu mengambil duduk diatas tumpukan ban bekas, mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya, menyalakan sebatang, menghisapnya dalam-dalam, sebelum kemudian mengeluarkan asap yang sengaja dibentuknya menjadi lingkaran, menghadiahi malam ini satu lagi lingkaran sempurna, pikirnya.
"Aku tidak mengatakannya dalam surat ya? Ah iya, maaf, lagi-lagi masalah loncatan kognisi ini. Maaf, seharusnya aku juga mengatakan kapan tepatnya kamu harus datang kesini, bukan hanya 'saat lampu menyala' yang bisa kapan saja. Tapi mengingat kamu tidak pernah melihat jam, aku jadi tidak terlalu merasa bersalah. Sebelumnya, aku bisa memanggilmu dengan apa?"
Perempuan itu mendengus. Lelaki ini!
"Apa sih, arti panggilan? Begitu kan, kata Shakespeare? Kamu bisa memanggilku apa saja. Autisme berjalan, kepulan asap rokok, kotoran kuda. Terserah kamu. Kupikir, setidaknya kamu harus cukup mengenalku hingga memaksaku meninggalkan selimut di dalam kebekuan seperti ini, kan?"
Perempuan itu menatap lelaki itu dengan tajam. Ia tak suka hembusan rokok yang menjelma bak tameng di sekeliling lelaki itu. Seakan ia bisa memonopoli emosi, menopengi sedikit getar ragu dalam intonasi. Padahal, siapa yang tahu jika lelaki ini rapuh di dalam, dengan sebatang rokok mengepulkan asap panjang pendek? Rokok--adalah cara lain menjadi jantan yang sukses dipropaganda media. Cih.
"Haha, lelucon pembuka yang bagus untuk malam keparat ini. Berbicara soal nama, aku malah ingat sebuah dialog satir dalam Pulp Fiction:
'What is your name?'
'Butch.'
'What does it mean?'
'I'm American, honey. Our names don't mean shit.'
Ini bukan Amerika, tapi aku juga percaya nama tidak berperan begitu besar sehingga kita tidak perlu membawanya kemana-mana. Kamu juga bisa memanggilku sesuka hatimu wahai Kepulan Asap Rokok."
Lelaki itu mematikan rokoknya. Bukan, bukan karena dia tidak ingin menyumbangkan polusi lebih banyak lagi untuk udara, tapi semata karena dadanya semakin terasa sakit semenjak semalam.
"Kamu ingat ini?" katanya kemudian sambil mengeluarkan benda lain dari dalam tasnya, sebuah buku.
Kali ini alis perempuan itu terangkat tinggi-tinggi.
"Tarot?" lirihnya antara heran dan geli.
Dari semua buku di muka bumi, lelaki ini menggiringnya di tengah kepekatan malam demi sebuah buku yang berawalan abjad ke duapuluh?
"Ya, tarot. Sebentar, mungkin ini akan terdengar aneh. Aku akan menceritakan semuanya. Dua minggu yang lalu aku bermimpi aneh selama lima hari berturut-turut."
"Ada seorang pria tua yang selalu datang, tidak pernah absen. Dalam mimpiku dia memberikan kartu ke-delapan dari Major Arcana, 'Kematian', selama empat hari berturut-turut. Di hari kelima aku bertanya apa artinya kartu itu, lalu dia memberikan kartu lain, kali ini kartu bergambar seorang perempuan, dia bilang perempuan itu adalah reinkarnasi dari peramal terhebat sepanjang sejarah. Dia bilang perempuan ini aka menjelaskannya untukku."
"Lalu besoknya aku melihat perempuan dalam kartu di mimpiku dalam dunia nyata, aku melihatnya keluar dari rumahnya yang ternyata tidak jauh dari rumahku. Perempuan itu adalah kamu! Itulah mengapa sore itu kamu menemui surat dariku dibawah pintumu."
Perempuan itu tersenyum samar. Dingin yang semula dirasakan kian menusuk kini hanya bagaikan sapaan singkat angin lalu. Pembicaraan ini kian menarik, batinnya.
"Nostradamus pasti akan berpikir panjang sebelum memilih ku sebagai reinkarnan nya, bukan? Aku beritahu satu hal, aku mendapatkan kartu nomor enam dari peramal gadungan di ujung jalan. Malam berikutnya, sepertimu, tarot yang kuperoleh berubah terbalik. Tidakkah itu menarik?"
Tak ada sahutan dari lelaki di hadapannya. Jeda sekian lama, hingga tinggal suara malam dan kisikan daun yang membelah kebisingan dalam pikiran lelaki itu.
Sebenarnya bukan tidak ada sahutan, tetapi lelaki itu menyahut dalam hati, sehingga yang bisa mendengarnya mungkin hanya virus-virus dan bakteri yang terintegrasi dalam tubuhnya.
"Sial, tahu apa aku tentang tarot? Dan apa pula maksudnya kartu nomor enam dan kebalikannya?"
Lelaki itu kembali menyalakan rokok. Bukan, bukan karena dia sedang ingin menyumbangkan polusi lebih banyak lagi untuk udara, tapi karena malam itu begitu dingin. Dan kalaupun aku mati, setidaknya aku mati dibunuh oleh sahabatku, pikirnya.
"Fiuuh,
bukankah ini lucu, betapa waktu dan takdir telah mempermainkan kita? Pertama mimpi-mimpi itu, kemudian malam yang datang terlalu cepat, dan cerita yang sama darimu, semua ini seperti script sebuah sitkom yang sarkas. Bedanya, disini penontonnya hanya kita berdua, sehingga membuatnya menjadi begitu sepi."
Perempuan itu merasa kasihan pada lelaki itu. Ia bangkit dari ayunan, dan tersenyum padanya. Teramat manis, menyisakan lesung pipi yang dalam terhadap lamunan si lelaki. Menjawab samar,
"Yah, karena kamu bahkan tidak tahu apa yang hendak kamu katakan... mungkin, aku ingin kembali ke peradabanku yang hangat. Dengan secangkir kopi pahit nan panas."
Terdengar desahan panjang.
"Padahal, aku tahu dengan pasti arah pembicaraan ini." lanjutnya.
Perempuan itu mengecup sekilas pipi si lelaki yang dingin oleh kabut, namun kasar oleh bekas rambut-rambut pendek yang tak rapi tercukur. Yang tanpa sadar diamini hangat oleh hati lelaki itu.
Lelaki itu hanya membalas dengan senyum sekilas. Dia masih saja duduk disana sementara si perempuan berjalan kembali ke rumahnya yang hangat. Diambilnya benda lain dalam tasnya, sahabatnya yang lain: kertas dan pena. Dia mulai membuat garis diatas kertas, entah tulisan, entah gambar, entah diagram, entah.
Ada senyum yang tipis namun menyiratkan kemenangan dari wajahnya.
"Dia tidak tahu sebenarnya masih ada mimpi di hari keenam. Mimpi yang membuat semua ini terasa masuk akal sekarang. Mimpi yang aku yakin tidak datang begitu saja dari bawah sadarku. Perempuan itu, ah.." katanya pada virus-virus dan bakteri dalam tubuhnya sambil terus menggoreskan pena.
Lelaki itu terlalu sibuk dengan pena dan kertas tipisnya, hingga tak menyadari bahwa perempuan itu berbalik sesaat,
"Hei, Kabut Malam! Namaku Rhe." lagi-lagi dengan senyum teramat manis, bak candu.
Cukup pelan, sangat pelan. Namun desis angin telah berbaik hati menyampaikannya ke gendang telinga lelaki itu. Senyum samar, berbalas tipis di ujung bibir si lelaki.
"Kau begitu kejam padaku, ah malam..."