Tapi aku harus membuat sebuah keputusan. Aku tidak mau terus tinggal disini dan mati dicabik musim dingin.
Terbang, sesuatu yang sangat utopis untukku. Ah tapi apa itu utopis? Bukankah sejarah planet ini didominasi oleh kisah mereka yang berani mendobrak tembok utopis itu? Bukankah nenek moyang kita adalah mereka yang dengan berani keluar dari lautan yang nyaman dengan mempertaruhkan hidup mereka untuk hidup di darat? Hidup di darat itu utopis untuk mereka, tapi toh mereka berhasil. Bukankah bangsa Sumeria adalah bangsa yang dengan berani memutuskan untuk hidup di tempat bertemunya sungai Eufrat dan lautan ribuan tahun yang lalu? Tinggal di tempat berlumpur semacam itu adalah hal yang utopis di zaman dimana batu menjadi salah satu kebutuhan primer saat itu. Tapi toh mereka akhirnya berhasil, dan menjadi bangsa yang andilnya besar dalam membentuk peradaban dunia.
Begitu pula denganku. Terbang adalah sesuatu yang sangat utopis untuk organisme dengan sayap prematur sepertiku. Sama utopisnya dengan para manusia yang merindukan kedamaian bisa menyusup dalam setiap oksigen yang mereka hirup. Ah tapi lalu aku teringat dengan kata-kata seorang temanku, kata-kata yang membuatku semakin yakin bahwa utopis hanyalah tembok yang tidak perlu aku takuti, sebuah tembok yang aku hanya perlu menemukan celah untuk merobohkannya,
"Utopis itu semestinya pandangan mereka yang non-ideologis terhadap cita-cita mereka yang ideologis. Mereka yang ideologis memandang cita-cita besarnya itu nampak jelas, walau masih jauh dan jalannya berat. Seperti aku, kamu, dan mereka semua yang punya cita-cita besar terhadap dunia"
Ya sepertinya aku siap untuk besok, lebih dari siap malah. Aku akan terbang, dan suatu hari kedamaian akan menyusup kedalam setiap oksigen yang kita hirup. Aku yakin.