Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin menulis tentang keluarga saya, tetapi karena menulis sesuatu tentang keluarga itu jauh lebih sulit daripada menulis resensi sebuah film atau curhatan tidak penting, baru kali ini saya bisa merealisasikannya.
Saya sepakat dengan salah satu kakak saya yang mengatakan kami hidup dalam keluarga yang amat sangat jarang memverbalkan rasa kasih dan sayang. Bahkan saya tidak ingat apakah kami pernah mengatakan "aku sayang kamu" satu sama lain. Karena kepedulian dan perhatian jauh lebih penting daripada kata-kata artifisial semacam itu, begitu yang dikatakan kakak saya.
Momen terbaik yang saya miliki tentang keluarga saya adalah ketika kami berkumpul di rumah kami yang lama, di sebuah ruang yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang mengerjakan PR, ruang menonton TV, atau bahkan ruang tidur karena rumah lama kami tidak memiliki banyak ruangan. Kami duduk di sofa butut yang kulitnya sudah mengelupas disana-sini yang warnanya beberapa kali diganti --seingat saya terakhir kali warnanya biru-- sambil minum teh panas dalam gelas besar yang sebenarnya dibuatkan oleh ibu saya untuk ayah saya, tapi saya dan kakak-kakak saya sangat senang minum dari situ, walau kadang daun dan batang tehnya menyelip di gigi saya.
Puluhan tahun yang lalu ayah saya pergi merantau dari desanya yang tenang menuju Bandung yang katanya menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ayah saya mencoba bekerja apa saja disana, dari mulai supir angkot, supir taksi, supir sebuah perusahaan farmasi sampai akhirnya terakhir menjadi Kepala Bagian ekspor-impor di perusahaan yang sama sebelum akhirnya pensiun dan belakangan kembali bekerja di sebuah perusahaan kecil karena mungkin beliau mengalami post-power syndrome.
Suatu hari ketika saya kecil ayah saya menggendong saya di bahunya, kemudian beliau menunjuk bulan purnama dan bilang "liat bulannya? kalo kita diem dia juga diem" kemudian ayah saya berjalan dan bilang "liat bulannya? walau kita jalan bulannya tetep diem". Waktu itu saya tidak mengerti apa maksudnya, yang jelas sejak itu saya selalu tertarik dengan benda-benda angkasa. Ayah saya adalah orang pertama yang mengajak saya shalal berjamaah. Setiap Maghrib beliau selalu menyuruh saya masuk kamarnya dan shalat bersamanya, sesuatu yang saya sebenarnya tidak suka, karena tepat jam 6 Dragon Ball mulai di TV, dan saya biasanya terlewat cukup banyak adegan karena ayah saya shalatnya lama.
Saya selalu menyukai cara ayah saya menceritakan sesuatu atau sebuah konsep. Bahkan teorinya tentang "lapisan ring dalam sebuah keluarga" tetap membuat saya kagum sampai sekarang, yang walau entah beliau dapat darimana teori itu. Ayah saya selalu mengajarkan tentang kedisiplinan dan profesionalitas kepada saya dan kakak-kakak saya dari kecil. Sesuatu yang beliau ajarkan dengan berbagai contoh aplikasi, tapi mungkin kami yang terlalu bebal sehingga saya rasa diantara kami tidak ada yang benar-benar mewarisi ilmunya dengan baik.
Ayah saya bertemu ibu saya di tengah perantauannya. Ibu saya lahir dari keluarga yang cukup terpandang dan ayah saya adalah seorang pemuda perantauan yang tidak membawa apa-apa dari desa, sehingga bisa dipastikan romansa pahit ala film-film India dialami oleh mereka berdua: hubungan yang tidak direstui oleh orangtua si perempuan. Tapi yah, sepertinya jodoh memang benar-benar sudah diatur, karena toh mereka berdua menikah juga.
Ibu saya adalah orang yang sangat sederhana, saking sederhananya beliau tidak bisa menggunakan benda-benda modern, bahkan mengetik SMS pun tidak bisa. Tapi memang kenapa? Menurut saya itu keren. Menurut cerita, ibu saya sebenarnya dulu diterima di Jurnalistik Unpad, tetapi beliau menolaknya karena sebuah alasan khas kolektivis: tidak ada satu pun temannya yang masuk sana. Sehingga akhrinya beliau masuk sebuah universitas kelas dua di Bandung dan tidak melanjutkan studinya karena suatu alasan. Maka ketika setahun belakangan saya mulai produktif menulis, ayah saya mengatakan "bakat menulismu tu turunan dari ibumu!"
Ketika saya SD, ada pelajaran Bahasa Sunda yang sungguh sulit untuk saya waktu itu, dan keluarga saya juga tidak ada yang bisa berbahasa Sunda dengan baik. Kemudian setiap ada tugas, ibu saya dengan tulusnya selalu mengantar saya ke rumah para tetangga yang jago berbahasa Sunda untuk membantu saya mengerjakan tugas. Saat saya sakit, saya selalu suka ketika ibu saya membuatkan bubur yang dimasak dengan irisan ati ampela. Saya tidak bohong, tapi itu memang bubur terenak yang pernah saya makan seumur-umur, dan entah sudah berapa belas tahun yang lalu ketika terakhir saya merasakannya.
Dan walaupun diantara kedua orangtua saya tidak ada satupun yang pernah belajar tentang Psikologi Perkembangan, saya sangat mengagumi cara mereka berdua memebesarkan anak-anaknya sehingga (hampir) semuanya telah menjadi sarjana.
Kemudian ada ketiga kakak perempuan saya. Saya tidak akan mendeskripsikan mereka satu-persatu, yang jelas kakak-kakak saya adalah orang yang paling berpengaruh dalam masa-masa perkembangan saya, terutama dalam hal perkembangan kognitif. Merekalah yang mengenalkan saya pada Star Wars, merekalah yang mengenalkan saya pada band-band keren 90an, merekalah yang menyuntikkan pengetahuan-pengetahuan pada saya yang saya yakin pengetahuan semacam itu tidak akan dimiliki oleh anak seumuran saya waktu itu.
Ketiga kakak saya sekarang telah berada pada fase yang berbeda. Dunia mereka sekarang adalah mengurus suami dan membesarkan anak. Dunia yang mungkin suatu hari akan saya masuki juga. Menikah, mengurus istri, mencari uang, dan membesarkan anak. Dengan hanya memikirkannya saja perut saya sudah terasa tidak enak.
Saya beruntung karena lahir pada saat keluarga saya sudah agak mapan secara lahir batin. Saya beruntung karena saya tidak pernah melihat ayah saya berdarah-darah karena dibacok sekawanan perampok, saya beruntung karena tidak pernah dirawat berhari-hari di rumah sakit karena operasi usus buntu seperti kakak saya yang waktu itu orangtua kami sempat akan "merelakannya" saking parahnya keadaannya, dan saya sampai bosan jika dinasihati begini oleh kakak saya "kamu tu beruntung. kamu mau apa-apa tinggal minta sekarang. kamu gak pernah ngerasain harus nunggu tempe dagangan si mamah laku dulu sebelum dapet ongkos buat sekolah!"
Yah tapi tetap saja saya yang paling sulit bersyukur diantara kami berempat.
Walaupun tulisan ini sudah berakhir, tetap sulit bagi saya untuk mengungkapkan rasa sayang saya kepada mereka secara verbal, bahkan untuk menulisnya pun saya amat canggung. Oke suatu hari saya akan mengungkapkan perasaan saya ini dengan cara yang berbeda, dengan sesuatu yang menembus batas semesta kata; sebuah pembuktian.
bi, aku sama sekali gak tau keluargamu tapi demi tuhan, you really got me dumbfounded. wow oh wow.
ReplyDeletehai om bebe,diungkapkan secara verbal atau tidak, i always have that feeling...
ReplyDeleteseperti yg dirasakan leia ke luke skywalker
seperti yg dirasakan connie ke michael carleone
seperti yg dirasakan monica ke ross gellar
(cukup verbal kan walopun masih impilisit? hahaha)
coco: gara2 ak nulis ini co?
ReplyDeleteiamwn: leia ke luke? wew inses..
hmmm, let's say so. and i mean it as a compliment. :p
ReplyDeleteBi, kalo tulisanmu ini adalah pertunjukan musik, saya masih sedang memberi tepuk tangan berdiri sampai komen saya selesai ditulis.
ReplyDeletewell super thanks Co, Ham :D
ReplyDeletewangun bi
ReplyDeleteanjis aing sedih maca tulisan ieu
ReplyDelete"Anjis aing sedih maca tulisan ieu" paste-ing.
ReplyDeleteSayang dia anonym, mungkin tipe-tipe pria yang punya masalah kasih-sayang verbal juga
romantis tapi ngga bikin nangis
ReplyDeletemas abi tulisannya bagus banget! jadi homesick.
ReplyDelete>.<