hari ini dunia dengan segala jenis toksik didalamnya --terutama yang paling mematikan bernama "hubungan antar-manusia"-- telah membuat playlist winamp saya lebih terdengar seperti obituari daripada lulabi malam ini..
Monday, December 27, 2010
Sunday, December 26, 2010
F for Family
Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin menulis tentang keluarga saya, tetapi karena menulis sesuatu tentang keluarga itu jauh lebih sulit daripada menulis resensi sebuah film atau curhatan tidak penting, baru kali ini saya bisa merealisasikannya.
Saya sepakat dengan salah satu kakak saya yang mengatakan kami hidup dalam keluarga yang amat sangat jarang memverbalkan rasa kasih dan sayang. Bahkan saya tidak ingat apakah kami pernah mengatakan "aku sayang kamu" satu sama lain. Karena kepedulian dan perhatian jauh lebih penting daripada kata-kata artifisial semacam itu, begitu yang dikatakan kakak saya.
Momen terbaik yang saya miliki tentang keluarga saya adalah ketika kami berkumpul di rumah kami yang lama, di sebuah ruang yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang mengerjakan PR, ruang menonton TV, atau bahkan ruang tidur karena rumah lama kami tidak memiliki banyak ruangan. Kami duduk di sofa butut yang kulitnya sudah mengelupas disana-sini yang warnanya beberapa kali diganti --seingat saya terakhir kali warnanya biru-- sambil minum teh panas dalam gelas besar yang sebenarnya dibuatkan oleh ibu saya untuk ayah saya, tapi saya dan kakak-kakak saya sangat senang minum dari situ, walau kadang daun dan batang tehnya menyelip di gigi saya.
Puluhan tahun yang lalu ayah saya pergi merantau dari desanya yang tenang menuju Bandung yang katanya menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ayah saya mencoba bekerja apa saja disana, dari mulai supir angkot, supir taksi, supir sebuah perusahaan farmasi sampai akhirnya terakhir menjadi Kepala Bagian ekspor-impor di perusahaan yang sama sebelum akhirnya pensiun dan belakangan kembali bekerja di sebuah perusahaan kecil karena mungkin beliau mengalami post-power syndrome.
Suatu hari ketika saya kecil ayah saya menggendong saya di bahunya, kemudian beliau menunjuk bulan purnama dan bilang "liat bulannya? kalo kita diem dia juga diem" kemudian ayah saya berjalan dan bilang "liat bulannya? walau kita jalan bulannya tetep diem". Waktu itu saya tidak mengerti apa maksudnya, yang jelas sejak itu saya selalu tertarik dengan benda-benda angkasa. Ayah saya adalah orang pertama yang mengajak saya shalal berjamaah. Setiap Maghrib beliau selalu menyuruh saya masuk kamarnya dan shalat bersamanya, sesuatu yang saya sebenarnya tidak suka, karena tepat jam 6 Dragon Ball mulai di TV, dan saya biasanya terlewat cukup banyak adegan karena ayah saya shalatnya lama.
Saya selalu menyukai cara ayah saya menceritakan sesuatu atau sebuah konsep. Bahkan teorinya tentang "lapisan ring dalam sebuah keluarga" tetap membuat saya kagum sampai sekarang, yang walau entah beliau dapat darimana teori itu. Ayah saya selalu mengajarkan tentang kedisiplinan dan profesionalitas kepada saya dan kakak-kakak saya dari kecil. Sesuatu yang beliau ajarkan dengan berbagai contoh aplikasi, tapi mungkin kami yang terlalu bebal sehingga saya rasa diantara kami tidak ada yang benar-benar mewarisi ilmunya dengan baik.
Ayah saya bertemu ibu saya di tengah perantauannya. Ibu saya lahir dari keluarga yang cukup terpandang dan ayah saya adalah seorang pemuda perantauan yang tidak membawa apa-apa dari desa, sehingga bisa dipastikan romansa pahit ala film-film India dialami oleh mereka berdua: hubungan yang tidak direstui oleh orangtua si perempuan. Tapi yah, sepertinya jodoh memang benar-benar sudah diatur, karena toh mereka berdua menikah juga.
Ibu saya adalah orang yang sangat sederhana, saking sederhananya beliau tidak bisa menggunakan benda-benda modern, bahkan mengetik SMS pun tidak bisa. Tapi memang kenapa? Menurut saya itu keren. Menurut cerita, ibu saya sebenarnya dulu diterima di Jurnalistik Unpad, tetapi beliau menolaknya karena sebuah alasan khas kolektivis: tidak ada satu pun temannya yang masuk sana. Sehingga akhrinya beliau masuk sebuah universitas kelas dua di Bandung dan tidak melanjutkan studinya karena suatu alasan. Maka ketika setahun belakangan saya mulai produktif menulis, ayah saya mengatakan "bakat menulismu tu turunan dari ibumu!"
Ketika saya SD, ada pelajaran Bahasa Sunda yang sungguh sulit untuk saya waktu itu, dan keluarga saya juga tidak ada yang bisa berbahasa Sunda dengan baik. Kemudian setiap ada tugas, ibu saya dengan tulusnya selalu mengantar saya ke rumah para tetangga yang jago berbahasa Sunda untuk membantu saya mengerjakan tugas. Saat saya sakit, saya selalu suka ketika ibu saya membuatkan bubur yang dimasak dengan irisan ati ampela. Saya tidak bohong, tapi itu memang bubur terenak yang pernah saya makan seumur-umur, dan entah sudah berapa belas tahun yang lalu ketika terakhir saya merasakannya.
Dan walaupun diantara kedua orangtua saya tidak ada satupun yang pernah belajar tentang Psikologi Perkembangan, saya sangat mengagumi cara mereka berdua memebesarkan anak-anaknya sehingga (hampir) semuanya telah menjadi sarjana.
Kemudian ada ketiga kakak perempuan saya. Saya tidak akan mendeskripsikan mereka satu-persatu, yang jelas kakak-kakak saya adalah orang yang paling berpengaruh dalam masa-masa perkembangan saya, terutama dalam hal perkembangan kognitif. Merekalah yang mengenalkan saya pada Star Wars, merekalah yang mengenalkan saya pada band-band keren 90an, merekalah yang menyuntikkan pengetahuan-pengetahuan pada saya yang saya yakin pengetahuan semacam itu tidak akan dimiliki oleh anak seumuran saya waktu itu.
Ketiga kakak saya sekarang telah berada pada fase yang berbeda. Dunia mereka sekarang adalah mengurus suami dan membesarkan anak. Dunia yang mungkin suatu hari akan saya masuki juga. Menikah, mengurus istri, mencari uang, dan membesarkan anak. Dengan hanya memikirkannya saja perut saya sudah terasa tidak enak.
Saya beruntung karena lahir pada saat keluarga saya sudah agak mapan secara lahir batin. Saya beruntung karena saya tidak pernah melihat ayah saya berdarah-darah karena dibacok sekawanan perampok, saya beruntung karena tidak pernah dirawat berhari-hari di rumah sakit karena operasi usus buntu seperti kakak saya yang waktu itu orangtua kami sempat akan "merelakannya" saking parahnya keadaannya, dan saya sampai bosan jika dinasihati begini oleh kakak saya "kamu tu beruntung. kamu mau apa-apa tinggal minta sekarang. kamu gak pernah ngerasain harus nunggu tempe dagangan si mamah laku dulu sebelum dapet ongkos buat sekolah!"
Yah tapi tetap saja saya yang paling sulit bersyukur diantara kami berempat.
Walaupun tulisan ini sudah berakhir, tetap sulit bagi saya untuk mengungkapkan rasa sayang saya kepada mereka secara verbal, bahkan untuk menulisnya pun saya amat canggung. Oke suatu hari saya akan mengungkapkan perasaan saya ini dengan cara yang berbeda, dengan sesuatu yang menembus batas semesta kata; sebuah pembuktian.
Saya sepakat dengan salah satu kakak saya yang mengatakan kami hidup dalam keluarga yang amat sangat jarang memverbalkan rasa kasih dan sayang. Bahkan saya tidak ingat apakah kami pernah mengatakan "aku sayang kamu" satu sama lain. Karena kepedulian dan perhatian jauh lebih penting daripada kata-kata artifisial semacam itu, begitu yang dikatakan kakak saya.
Momen terbaik yang saya miliki tentang keluarga saya adalah ketika kami berkumpul di rumah kami yang lama, di sebuah ruang yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang mengerjakan PR, ruang menonton TV, atau bahkan ruang tidur karena rumah lama kami tidak memiliki banyak ruangan. Kami duduk di sofa butut yang kulitnya sudah mengelupas disana-sini yang warnanya beberapa kali diganti --seingat saya terakhir kali warnanya biru-- sambil minum teh panas dalam gelas besar yang sebenarnya dibuatkan oleh ibu saya untuk ayah saya, tapi saya dan kakak-kakak saya sangat senang minum dari situ, walau kadang daun dan batang tehnya menyelip di gigi saya.
Puluhan tahun yang lalu ayah saya pergi merantau dari desanya yang tenang menuju Bandung yang katanya menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ayah saya mencoba bekerja apa saja disana, dari mulai supir angkot, supir taksi, supir sebuah perusahaan farmasi sampai akhirnya terakhir menjadi Kepala Bagian ekspor-impor di perusahaan yang sama sebelum akhirnya pensiun dan belakangan kembali bekerja di sebuah perusahaan kecil karena mungkin beliau mengalami post-power syndrome.
Suatu hari ketika saya kecil ayah saya menggendong saya di bahunya, kemudian beliau menunjuk bulan purnama dan bilang "liat bulannya? kalo kita diem dia juga diem" kemudian ayah saya berjalan dan bilang "liat bulannya? walau kita jalan bulannya tetep diem". Waktu itu saya tidak mengerti apa maksudnya, yang jelas sejak itu saya selalu tertarik dengan benda-benda angkasa. Ayah saya adalah orang pertama yang mengajak saya shalal berjamaah. Setiap Maghrib beliau selalu menyuruh saya masuk kamarnya dan shalat bersamanya, sesuatu yang saya sebenarnya tidak suka, karena tepat jam 6 Dragon Ball mulai di TV, dan saya biasanya terlewat cukup banyak adegan karena ayah saya shalatnya lama.
Saya selalu menyukai cara ayah saya menceritakan sesuatu atau sebuah konsep. Bahkan teorinya tentang "lapisan ring dalam sebuah keluarga" tetap membuat saya kagum sampai sekarang, yang walau entah beliau dapat darimana teori itu. Ayah saya selalu mengajarkan tentang kedisiplinan dan profesionalitas kepada saya dan kakak-kakak saya dari kecil. Sesuatu yang beliau ajarkan dengan berbagai contoh aplikasi, tapi mungkin kami yang terlalu bebal sehingga saya rasa diantara kami tidak ada yang benar-benar mewarisi ilmunya dengan baik.
Ayah saya bertemu ibu saya di tengah perantauannya. Ibu saya lahir dari keluarga yang cukup terpandang dan ayah saya adalah seorang pemuda perantauan yang tidak membawa apa-apa dari desa, sehingga bisa dipastikan romansa pahit ala film-film India dialami oleh mereka berdua: hubungan yang tidak direstui oleh orangtua si perempuan. Tapi yah, sepertinya jodoh memang benar-benar sudah diatur, karena toh mereka berdua menikah juga.
Ibu saya adalah orang yang sangat sederhana, saking sederhananya beliau tidak bisa menggunakan benda-benda modern, bahkan mengetik SMS pun tidak bisa. Tapi memang kenapa? Menurut saya itu keren. Menurut cerita, ibu saya sebenarnya dulu diterima di Jurnalistik Unpad, tetapi beliau menolaknya karena sebuah alasan khas kolektivis: tidak ada satu pun temannya yang masuk sana. Sehingga akhrinya beliau masuk sebuah universitas kelas dua di Bandung dan tidak melanjutkan studinya karena suatu alasan. Maka ketika setahun belakangan saya mulai produktif menulis, ayah saya mengatakan "bakat menulismu tu turunan dari ibumu!"
Ketika saya SD, ada pelajaran Bahasa Sunda yang sungguh sulit untuk saya waktu itu, dan keluarga saya juga tidak ada yang bisa berbahasa Sunda dengan baik. Kemudian setiap ada tugas, ibu saya dengan tulusnya selalu mengantar saya ke rumah para tetangga yang jago berbahasa Sunda untuk membantu saya mengerjakan tugas. Saat saya sakit, saya selalu suka ketika ibu saya membuatkan bubur yang dimasak dengan irisan ati ampela. Saya tidak bohong, tapi itu memang bubur terenak yang pernah saya makan seumur-umur, dan entah sudah berapa belas tahun yang lalu ketika terakhir saya merasakannya.
Dan walaupun diantara kedua orangtua saya tidak ada satupun yang pernah belajar tentang Psikologi Perkembangan, saya sangat mengagumi cara mereka berdua memebesarkan anak-anaknya sehingga (hampir) semuanya telah menjadi sarjana.
Kemudian ada ketiga kakak perempuan saya. Saya tidak akan mendeskripsikan mereka satu-persatu, yang jelas kakak-kakak saya adalah orang yang paling berpengaruh dalam masa-masa perkembangan saya, terutama dalam hal perkembangan kognitif. Merekalah yang mengenalkan saya pada Star Wars, merekalah yang mengenalkan saya pada band-band keren 90an, merekalah yang menyuntikkan pengetahuan-pengetahuan pada saya yang saya yakin pengetahuan semacam itu tidak akan dimiliki oleh anak seumuran saya waktu itu.
Ketiga kakak saya sekarang telah berada pada fase yang berbeda. Dunia mereka sekarang adalah mengurus suami dan membesarkan anak. Dunia yang mungkin suatu hari akan saya masuki juga. Menikah, mengurus istri, mencari uang, dan membesarkan anak. Dengan hanya memikirkannya saja perut saya sudah terasa tidak enak.
Saya beruntung karena lahir pada saat keluarga saya sudah agak mapan secara lahir batin. Saya beruntung karena saya tidak pernah melihat ayah saya berdarah-darah karena dibacok sekawanan perampok, saya beruntung karena tidak pernah dirawat berhari-hari di rumah sakit karena operasi usus buntu seperti kakak saya yang waktu itu orangtua kami sempat akan "merelakannya" saking parahnya keadaannya, dan saya sampai bosan jika dinasihati begini oleh kakak saya "kamu tu beruntung. kamu mau apa-apa tinggal minta sekarang. kamu gak pernah ngerasain harus nunggu tempe dagangan si mamah laku dulu sebelum dapet ongkos buat sekolah!"
Yah tapi tetap saja saya yang paling sulit bersyukur diantara kami berempat.
Walaupun tulisan ini sudah berakhir, tetap sulit bagi saya untuk mengungkapkan rasa sayang saya kepada mereka secara verbal, bahkan untuk menulisnya pun saya amat canggung. Oke suatu hari saya akan mengungkapkan perasaan saya ini dengan cara yang berbeda, dengan sesuatu yang menembus batas semesta kata; sebuah pembuktian.
Tuesday, December 21, 2010
an F word : Friends
Kemarin sore sekretariat kami kedatangan tamu dari Mapala tetangga. Jumlah mereka sekitar 20-an orang, dan hanya satu atau dua dari mereka yang saya kenal (dalam organisasi saya, mungkin hanya saya yang punya teman paling sedikit dari Mapala lain, jika semua jari dari kedua tangan saya digunakan untuk menghitung jumlah orang dari Mapala lain yang saya kenal pun mungkin akan kebanyakan). Bukan apa-apa, karena saya tidak suka berkenalan dan menjalin pertemanan dengan begitu banyak orang secara masif, dan itulah yang menjadi budaya di Mapala manapun; sedangkan saya lebih suka berkenalan secara personal dengan individu per individu secara lambat.
Kemudian mereka dan teman-teman saya mulai bernyanyi-nyanyi bersama sambil diiringi gitar dan jimbe, mereka (teman-teman dari Mapala lain dan teman-teman saya) terlihat sangat senang dan menikmati setiap momen, mereka tertawa, saling melempar ejekan, tertawa lagi, minum es teh, bernyanyi lagi, dan saya pergi meninggalkan mereka.
Saya mengambil motor dan pergi tanpa tujuan sebelum akhirnya terdampar di toko buku sambil nunggu hujan. Kenapa saya pergi meninggalkan mereka? Ada dua alasan:
1. Karena saya memiliki semacam gejala fobia sosial.
Saya selalu merasa tidak nyaman ketika berada di tengah-tengah kerumunan orang, apalagi orang-orang yang tidak saya kenal. Dan seperti yang saya bilang diatas, saya tidak suka berkenalan dan mengakrabkan diri dengan begitu banyak orang sekaligus, dan sebenarnya saya juga tidak suka mempunyai terlalu banyak teman.
2. Karena saya tidak suka Mapala.
Ya, saya Mapala yang tidak suka Mapala. Saya juga bingung kenapa saya tidak suka dengan Mapala, yang jelas bukan karena penampilan atau tingkah laku mereka. Karena perilaku berantakan, jarang mandi, urakan, mabuk-mabukan dsb yang biasanya dilekatkan pada Mapala manapun tidak pernah mengganggu saya, walaupun organisasi yang saya ikuti terkenal sebagai Mapala yang (katanya) rapi. Entahlah, mungkin ini semacam ketidaksukaan yang tidak butuh alasan.
Kemudian setelah hujan cukup reda, saya kembali lagi ke kampus dan melihat mereka telah pindah ke kantin dan melakukan aktifitas yang sama seperti tadi. Saya menghampiri sebentar, menghisap sebatang rokok, ikut nyanyi dan tertawa-tawa sebentar --walaupun saya tidak tahu apa yang saya tertawakan-- kemudian saya masuk ke sekret yang sepi, hanya ada seorang teman saya yang entah sedang apa.
Saya selalu suka suasana seperti itu: duduk sendirian dan mendengar suara kerumunan orang dari jarak yang jauh. Dan dalam suasana seperti itu saya kemudian merenungkan banyak hal, termasuk konsep pertemanan dalam kehidupan saya. Jika dipikir, teman yang saya miliki sepanjang hidup memang tidak terlalu banyak, setidaknya mereka yang saya izinkan menyelami pikiran saya dengan cukup dalam. Dan dengan mengetahui fakta itu saya merasa puas, karena saya memiliki kualitas dalam berteman, bukan kuantitas. Dan setelah saya pikir lagi, ternyata saya lebih senang berteman dengan orang-orang yang memiliki sedikit teman, karena itu artinya saya hanya perlu berteman dengannya, bukan dengan teman-temannya.
Kemudian mereka dan teman-teman saya mulai bernyanyi-nyanyi bersama sambil diiringi gitar dan jimbe, mereka (teman-teman dari Mapala lain dan teman-teman saya) terlihat sangat senang dan menikmati setiap momen, mereka tertawa, saling melempar ejekan, tertawa lagi, minum es teh, bernyanyi lagi, dan saya pergi meninggalkan mereka.
Saya mengambil motor dan pergi tanpa tujuan sebelum akhirnya terdampar di toko buku sambil nunggu hujan. Kenapa saya pergi meninggalkan mereka? Ada dua alasan:
1. Karena saya memiliki semacam gejala fobia sosial.
Saya selalu merasa tidak nyaman ketika berada di tengah-tengah kerumunan orang, apalagi orang-orang yang tidak saya kenal. Dan seperti yang saya bilang diatas, saya tidak suka berkenalan dan mengakrabkan diri dengan begitu banyak orang sekaligus, dan sebenarnya saya juga tidak suka mempunyai terlalu banyak teman.
2. Karena saya tidak suka Mapala.
Ya, saya Mapala yang tidak suka Mapala. Saya juga bingung kenapa saya tidak suka dengan Mapala, yang jelas bukan karena penampilan atau tingkah laku mereka. Karena perilaku berantakan, jarang mandi, urakan, mabuk-mabukan dsb yang biasanya dilekatkan pada Mapala manapun tidak pernah mengganggu saya, walaupun organisasi yang saya ikuti terkenal sebagai Mapala yang (katanya) rapi. Entahlah, mungkin ini semacam ketidaksukaan yang tidak butuh alasan.
Kemudian setelah hujan cukup reda, saya kembali lagi ke kampus dan melihat mereka telah pindah ke kantin dan melakukan aktifitas yang sama seperti tadi. Saya menghampiri sebentar, menghisap sebatang rokok, ikut nyanyi dan tertawa-tawa sebentar --walaupun saya tidak tahu apa yang saya tertawakan-- kemudian saya masuk ke sekret yang sepi, hanya ada seorang teman saya yang entah sedang apa.
Saya selalu suka suasana seperti itu: duduk sendirian dan mendengar suara kerumunan orang dari jarak yang jauh. Dan dalam suasana seperti itu saya kemudian merenungkan banyak hal, termasuk konsep pertemanan dalam kehidupan saya. Jika dipikir, teman yang saya miliki sepanjang hidup memang tidak terlalu banyak, setidaknya mereka yang saya izinkan menyelami pikiran saya dengan cukup dalam. Dan dengan mengetahui fakta itu saya merasa puas, karena saya memiliki kualitas dalam berteman, bukan kuantitas. Dan setelah saya pikir lagi, ternyata saya lebih senang berteman dengan orang-orang yang memiliki sedikit teman, karena itu artinya saya hanya perlu berteman dengannya, bukan dengan teman-temannya.
Monday, December 20, 2010
obsesif kompulsif
Sejak dulu saya peka dengan hal-hal detil, dan belakangan ini berubah menjadi obsesi, kemudian berubah lagi menjadi obsesi terhadap idealitas.
Maksudnya adalah saya menjadi tidak tahan terhadap segala sesuatu yang tidak seharusnya terjadi atau berada pada tempat yang salah.
Oke saya tahu dunia bukanlah sesuatu yang sempurna,
saya tahu saya tidak seharusnya mengkritik segala sesuatu karena toh diri saya sendiri juga tidak sempurna,
dan saya tahu saya bisa mati karena tidak tahan dengan diri saya sendiri yang sama sekali tidak ideal.
Tapi saya bisa apa?
Ini terjadi begitu saja.
Saya bisa saja menyalahkan Tuhan dengan mengatakan "oh mengapa Kau begitu tega membuatku seperti ini?"
tapi konsep ketuhanan dan citra Tuhan sendiri tidak ideal menurut saya,
dan saya tidak percaya dengan takdir atau sebagainya.
Jadi saya menganggap ini hanya ketidakseimbangan otak saya saja, dan ini sesuatu yang normal terjadi pada manusia.
Ah sudahlah, saya hanya semakin merasa pusing dengan menulis ini.
Maksudnya adalah saya menjadi tidak tahan terhadap segala sesuatu yang tidak seharusnya terjadi atau berada pada tempat yang salah.
Oke saya tahu dunia bukanlah sesuatu yang sempurna,
saya tahu saya tidak seharusnya mengkritik segala sesuatu karena toh diri saya sendiri juga tidak sempurna,
dan saya tahu saya bisa mati karena tidak tahan dengan diri saya sendiri yang sama sekali tidak ideal.
Tapi saya bisa apa?
Ini terjadi begitu saja.
Saya bisa saja menyalahkan Tuhan dengan mengatakan "oh mengapa Kau begitu tega membuatku seperti ini?"
tapi konsep ketuhanan dan citra Tuhan sendiri tidak ideal menurut saya,
dan saya tidak percaya dengan takdir atau sebagainya.
Jadi saya menganggap ini hanya ketidakseimbangan otak saya saja, dan ini sesuatu yang normal terjadi pada manusia.
Ah sudahlah, saya hanya semakin merasa pusing dengan menulis ini.
Monday, December 13, 2010
Wednesday, December 8, 2010
oh eropa
Belakangan ini saya begitu terobsesi ingin keluar negeri, Eropa lebih tepatnya, negara-negara kecil di Eropa lebih tepatnya, seperti Slovakia, Irlandia, Swiss, dan negara-negara lain yang namanya asing di telinga orang Indonesia. Kenapa negara-negara kecil? Karena negara-negara semacam Belanda, Jerman, atau Prancis menurut saya adalah negara yang 'mapan', dan dalam bayangan saya, negara-negara itu suasananya akan seperti Jakarta, padahal saya tidak suka Jakarta; crowded, kehidupan seperti terburu-buru, dan semua serba mahal. Tapi walau termasuk negara mapan, saya tetap ingin ke Inggris, karena saya sangat suka mendengar orang berbicara dengan aksen Inggris.
Sebenarnya keinginan ini sudah agak lama, tapi ini berubah menjadi obsesi ketika beberapa teman dekat saya pergi keluar negeri, ada yang ikut konferensi di Jerman, ada yang dapat beasiswa ke Swedia, dan terakhir saya dapat kabar ada seorang teman lagi yang akan ke Amerika. Mereka semua pergi kesana dengan dibiayai oleh lembaga-lembaga tertentu, dan inilah yang membedakan obsesi saya keluar negeri dengan sekedar ingin berlibur. Saya pikir jika hanya sekedar berlibur saya masih bisa mengusahakannya dengan menyisihkan sebagian besar uang bulanan saya selama beberapa bulan ditambah uang dari job sana-sini. Saya ingin kesana sebagai mahasiswa, bukan sekedar sebagai wisatawan atau backpacker.
Itulah kenapa belakangan ini saya giat banget cari info seputar beasiswa, konferensi atau apapun yang memberangkatkan mahasiswa Indonesia ke Eropa. Tapi mimpi memang berkorelasi positif dengan kualitas, semakin tinggi mimpimu harus diimbangi juga dengan tingginya kualitasmu. Dari beberapa info yang saya tahu, hampir semua mensyaratkan IPK diatas 3,5 dan TOEFL minimal 550. Dua hal yang sepertinya saya harus berjuang cukup keras untuk itu, semenjak saya memang tidak pernah memusingkan berapapun nilai akademis saya di kampus --yang sialnya baru terasa penting pada saat-saat seperti ini-- dan TOEFL saya waktu saya ikut tes 3 tahun lalu cuma 475.
Maka dalam beberapa bulan kedepan, saya akan mengecangkan ikat kepala untuk beberapa program hidup yang akan saya buat sendiri, dan tentunya akan saya evaluasi sendiri juga. Dari mulai les Bahasa Inggris sampai perbaikan nilai kuliah. Yah walaupun saya memang fluktuatif, saya tidak tahu apa yang akan saya pikirkan beberapa bulan kedepan tentang rencana ini, setidaknya dalam beberapa bulan ini saya punya tujuan yang jelas dalam hidup saya, sesuatu yang sudah sangat lama tidak saya miliki.
Sebenarnya keinginan ini sudah agak lama, tapi ini berubah menjadi obsesi ketika beberapa teman dekat saya pergi keluar negeri, ada yang ikut konferensi di Jerman, ada yang dapat beasiswa ke Swedia, dan terakhir saya dapat kabar ada seorang teman lagi yang akan ke Amerika. Mereka semua pergi kesana dengan dibiayai oleh lembaga-lembaga tertentu, dan inilah yang membedakan obsesi saya keluar negeri dengan sekedar ingin berlibur. Saya pikir jika hanya sekedar berlibur saya masih bisa mengusahakannya dengan menyisihkan sebagian besar uang bulanan saya selama beberapa bulan ditambah uang dari job sana-sini. Saya ingin kesana sebagai mahasiswa, bukan sekedar sebagai wisatawan atau backpacker.
Itulah kenapa belakangan ini saya giat banget cari info seputar beasiswa, konferensi atau apapun yang memberangkatkan mahasiswa Indonesia ke Eropa. Tapi mimpi memang berkorelasi positif dengan kualitas, semakin tinggi mimpimu harus diimbangi juga dengan tingginya kualitasmu. Dari beberapa info yang saya tahu, hampir semua mensyaratkan IPK diatas 3,5 dan TOEFL minimal 550. Dua hal yang sepertinya saya harus berjuang cukup keras untuk itu, semenjak saya memang tidak pernah memusingkan berapapun nilai akademis saya di kampus --yang sialnya baru terasa penting pada saat-saat seperti ini-- dan TOEFL saya waktu saya ikut tes 3 tahun lalu cuma 475.
Maka dalam beberapa bulan kedepan, saya akan mengecangkan ikat kepala untuk beberapa program hidup yang akan saya buat sendiri, dan tentunya akan saya evaluasi sendiri juga. Dari mulai les Bahasa Inggris sampai perbaikan nilai kuliah. Yah walaupun saya memang fluktuatif, saya tidak tahu apa yang akan saya pikirkan beberapa bulan kedepan tentang rencana ini, setidaknya dalam beberapa bulan ini saya punya tujuan yang jelas dalam hidup saya, sesuatu yang sudah sangat lama tidak saya miliki.
Monday, December 6, 2010
desaturasi pelangi
Subscribe to:
Posts (Atom)