Sunday, August 7, 2022

apakah tidak sebaiknya menyerah saja dan terima bahwa kita sesungguhnya memang tidak tahu apa-apa?

Ia jenis orang yang tidak pernah memikirkan apa pun. Namun, malam itu ia memikirkan sesuatu yang membuatnya gelisah. Ia memikirkan kematian.

Membayangkan ketiadaan, kekosongan, dan hal-hal lain yang tak mampu ia petakan pasca seseorang mati membuatnya merasa bingung dan sedikit takut. Ia membuka laptop, menyetel musik, dan merenungkan betapa aneh dan tidak masuk akalnya bahwa pada suatu titik semua orang akan mati lalu memasuki kegelapan abadi dan meninggalkan segala hal yang mereka miliki, kenali, ketahui, benci, idamkan, perjuangkan, dan cintai.

Kemudian ia membuka kulkas, mengambil alpukat yang tinggal separuh lalu menaburkan gula di atasnya dan memakannya dengan sendok. Sembari mengunyah, ia bertanya-tanya mengapa kematian, sebagai sebuah fenomena alam, masih saja menerbitkan perasaan yang kurang menyenangkan bagi manusia. Ia bertanya-tanya mengapa manusia, dengan proses pembelajarannya yang begitu panjang selama ribuan tahun tidak bisa menempatkan kematian sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja seperti bangun pagi atau menggoreng telur atau rapat RT atau mencabut uban.

Tiga jam kemudian, ia mulai lelah --atau mungkin bosan-- memikirkan kematian. Ia menutup laptop, mematikan lampu, menyalakan kipas, berbaring di kasur, menarik selimut, dan bertanya pada dirinya sendiri, "Dari tadi sibuk memikirkan kematian, memangnya kau pernah benar-benar hidup?"