Tadi malam beberapa anak menyalakan petasan di sekitar rumah. Saya yang sudah setengah tidur kembali bangun mendengar kebisingan itu. Suara letupan-letupan petasan bercampur dengan tawa usil dan derap kaki mereka saat berlari karena dimarahi salah satu tetangga. Saya memang terbangun, tapi saya tidak marah. Tidak sama sekali. Saya paham, membakar petasan di bulan Ramadhan, bagaimanapun berisiknya, adalah tindakan normal yang dilakukan anak-anak kecil di mana pun di Indonesia. Persis seperti yang saya lakukan semasa kecil.
Saat Ramadhan, hampir separuh dari uang jajan saya dan kawan-kawan habis untuk dibelikan petasan. Mulai dari petasan korek yang menjadi amunisi sejuta umat karena harganya yang murah, petasan roket, petasan bola, petasan banting, hingga yang mahal (kami patungan untuk membelinya): kembang api, yang mengharuskan kami meminta tolong orang dewasa untuk menyalakan dan memeganginya.
Kadang kami juga iseng mencoba petasan-petasan berbentuk aneh seperti petasan tawon atau petasan ayam yang ternyata tidak seru. Barang-barang itu tentu tidak dijual di dekat tempat tinggal kami. Perlu upaya ekstra untuk mendapatkan mereka. Kami harus membelinya di Pasar Antri. Kadang menggunakan angkot, kadang berjalan kaki.
Petasan-petasan itu kami bakar tak kenal waktu. Pagi, siang, malam. Kapan pun kami mau. Dimarahi oleh orangtua dan tetangga adalah suatu keniscayaan. Tapi, siapa pula yang peduli pada dunia ketika kita punya dunia sendiri, bukan?
Pada hari libur, setelah mencatat materi kuliah subuh yang luar biasa membosankan, yang kami lakukan semata karena disuruh oleh guru agama di sekolah itu, kami akan berjalan kaki menuju area gerbang tol Baros yang menjadi tempat pembakaran petasan massal. Entah siapa yang pertama memulai, pada hari libur tempat itu selalu penuh oleh orang-orang dari berbagai kampung yang datang untuk tujuan yang sama: membakar petasan atau menonton orang membakar petasan.
Selain sesekali berpartisipasi melempar petasan korek yang telah disulut, kami juga selalu terhibur dengan pertunjukan gratis di situ. Beberapa orang dewasa mengadu kebolehan dalam membakar petasan. Mereka menyalakan petasan korek dan membiarkannya meledak di tangan sendiri. Orang-orang akan bersorak melihat mereka.
Di antara atraksi-atraksi itu, ada satu orang yang masih saya ingat sampai sekarang karena kegilaannya. Alih-alih di tangan, ia menaruh petasan korek yang telah disulut di bibirnya. Seperti orang merokok. Saat meledak, saya melihat beberapa helai kumisnya terbakar. Di balik kumis yang terbakar itu, seulas senyum kemenangan terbentuk dengan sempurna.
Saat sudah bosan membakar petasan dengan cara yang begitu-begitu saja, kami membawa petasan-petasan itu ke sawah di belakang kampung. Kami mencari kodok-kodok yang tidak terlalu besar di sela-sela tanaman padi. Para kodok itu kemudian kami ikat tubuhnya di petasan roket yang sudah kami tancapkan di tanah. Kami sulut sumbunya, dan sekian detik kemudian kami bersorak menyaksikan isi tubuh mereka terburai di udara bersama ledakan petasan. Kodok-kodok itu menjadi martir dari keisengan kami. Semoga mereka masuk surga.
Sebenarnya, kenapa orang menyukai petasan, atau kembang api, atau ledakan apapun? Kenapa orang rela mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang kemudian ia bakar dan ledakkan? Kenapa kembang api di tahun baru menjadi atraksi yang ditunggu-tunggu? Kenapa mobil atau gedung yang meledak di film menjadi daya tarik bagi penonton?
Beberapa peneliti dari Kansas University mengatakan bahwa manusia memiliki ketertarikan pada kembang api atau ledakan pada umumnya karena nilai bahaya yang terkandung di dalamnya. Kita memang aneh. Di satu sisi kita takut akan hal-hal yang mengandung bahaya, namun di sisi lain kita penasaran ingin merengkuhnya.
Mungkin para peneliti itu benar, atau mungkin jawabannya bisa ditarik lagi ke masa jauh sebelum ini. Masa di mana manusia masih tinggal di gua-gua dan terkesima dengan bintang, bulan, meteor, dan cahaya-cahaya di angkasa. Pada petir yang menyambar pohon dan memicu api. Perasaan berdebar dan takjub itu, mungkin masih menyisakan residu pada manusia modern, dan muncul saat kita melihat ledakan kembang api.
Atau, bisa jadi lebih jauh lagi. Pada dentuman besar di awal kehidupan. Kita tertarik pada ledakan karena kita, secara harfiah, adalah hasil dari ledakan yang terjadi pada waktu yang sulit dibayangkan saking lamanya. Ingatan akan dentuman besar bisa jadi bergentayangan di alam bawah sadar dan muncul sewaktu kita melihat kembang api atau ledakan bom nuklir di film.
Maka, bisa jadi para pelaku peledakan di Timur Tengah, di Lodon, di Jakarta, atau di tempat mana pun di muka bumi, bersedia memburaikan isi perut mereka di tengah orang banyak menggunakan bom bukan hanya didasari oleh motif-motif besar seperti ideologi atau janji surgawi, tapi sesederhana karena mereka ingin kembali bersatu dengan semesta lewat cara yang sama dengan siklus awal kehidupan: ledakan. Siapa tahu.