Di pos keamanan ini, himbauan untuk mengenakan pelampung tertulis besar-besar. Untuk perusahaan
yang bermain di medan penuh resiko, himbauan-himbauan
untuk selalu memperhatikan keselamatan diri semacam itu ditempatkan di setiap
detil aktivitas. Sesuatu yang mungkin terkesan berlebihan untuk masyarakat umum. Kami
mengenakan pelampung, lalu keluar menuju dermaga kecil tempat beberapa speed boat milik karyawan ditambatkan. Sepuluh menit kemudian,
perahu yang akan membawa kami menuju desa di
sebelah hulu sungai datang.
Perahu menyusuri Sungai Barito yang lebar itu dengan cekatan. Kami melewati dua
kapal tongkang yang sedang merapat, berton-ton batu bara sedang dimuntahkan ke
dalamnya dari conveyor yang panjang
dan tergesa-gesa. Bongkahan-bongkahan batu bara itu tampak seperti barisan
manusia yang berdesakan di atas eskalator yang ujungnya adalah wahana terjun
bebas.
Setelah melewati
sederetan hutan bakau dan nelayan yang sedang menjala, desa itu sayup-sayup mulai nampak dari kejauhan. Atap-atap bangunan sarang walet menjulang dengan ganjil, seperti gedung setengah jadi yang bersanding dengan rumah-rumah panggung. Perahu kami merapat di “dermaga” desa. Setelah
lompat dari perahu, kami harus menjaga keseimbangan melewati sebongkah kayu
licin yang diniatkan sebagai jembatan kecil.
Jalanan yang becek,
minimnya sarana pembuangan sampah yang mengakibatkan sampah berceceran di
mana-mana, serta mobilitas warganya yang terbatas karena lokasi desanya
dibatasi oleh air mengingatkan saya pada Kampung Laut di Nusakambangan sana.
Bedanya, jika rumah-rumah di Kampung Laut seluruhnya terbuat dari beton, di
desa ini hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu, kecuali bangunan-bangunan
sarang walet itu.
Kami berjalan melewati
masyarakat yang kebanyakan sedang leyeh-leyeh di teras rumah mereka. Teman saya
menyapa setiap orang yang kami temui dengan bahasa Banjar. Mereka membalas
dengan senyuman. Beberapa menawarkan kami untuk mampir ke rumah mereka. Rupanya
teman saya cukup akrab dengan masyarakat desa ini.
Kami berhenti di depan
sebuah rumah. “Ini tujuan kita, rumah kepala desa,” kata teman saya. Kami
disambut oleh seorang pria muda yang hangat. Usianya mungkin sekitar 30-an.
Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di kursinya, pria itu pergi ke dapur
untuk menyiapkan minum untuk kami. “Dia baru saja jadi kepala desa. Dia teman
baikku,” kata teman saya.
Kami disuguhi kopi yang
luar biasa manis. Kata teman saya belakangan, kopi yang super manis begitu
adalah racikan khas penduduk pesisir sungai.
“Apa kabar?” kata kepala
desa.
“Baik, baik,” jawab teman
saya sambil tersenyum lebar.
Lalu obrolan yang
sebagian besar diucapkan dalam bahasa Banjar mengalir di antara mereka.
Meskipun saya hanya paham sedikit-sedikit, tapi saya tahu itu adalah obrolan
remeh-temeh. Sampai suatu saat, teman saya berkata dengan mimik serius.
“Aku dapat informasi,
katanya masyarakat hendak demo?”
“Iya.”
“Apakah tuntutan
masyarakat tidak bisa dibicarakan baik-baik dengan kami?”
“Kami sudah bosan bicara.
Kerbau kami mati ditabrak mobil trailer
kalian, kami minta ganti rugi. Hanya sesederhana itu.”
“Kami selalu terbuka
untuk dialog. Jika memang ada kasus, mari kita melewati proses hukum yang
benar.”
“Kawan, kedatanganmu ke
sini tidak akan mengubah apapun. Kami akan tetap berdemo.”
“Bagaimana jika
perusahaan meminta kalian tidak berdemo? Karena itu akan mengganggu kegiatan produksi
kami.”
“Hehehe. Kawan, jika aku
memberitahumu kami akan demo, itu adalah pemberitahuan, bukan permintaan izin.”
Teman saya terdiam.
“Kapan rencana demonya
dilakukan?”
“Senin besok.”
Lalu angin canggung berhembus. Kami terdiam cukup lama. Akhirnya kami pamit
kepada kepala desa. Saya menghabiskan kopi saya yang sudah dingin, rasanya bertambah
manis. Kami bersalaman, kemudian berjalan menuju “dermaga”. Sebelum naik
perahu, kami melihat langit mulai menghitam di bagian hilir sungai. Angin pelan-pelan
terasa semakin kencang.
Sepertinya akan ada badai.