"Assalamu'alaikum, brother..."
Saya mencari asal suara itu di antara para peziarah yang sedang melakukan ritual Sya'i.
"Assalamu alaikum, brother..."
Saya menoleh ke belakang. Seorang lelaki berusia 30-an tersenyum kepada saya. Seorang gadis kecil dengan raut sedih berdiri di sampingnya. Ternyata betul, sapaan itu ditujukan kepada saya.
"Walaikum salam."
"Do you speak English?" tanyanya.
"Yes, a little..."
Maka berceritalah dia. Lelaki itu adalah peziarah asal Pakistan. Dia pergi ke Mekkah bersama istri dan anak perempuannya yang kira-kira masih berumur 6 tahun. Dia bercerita bahwa uang mereka hilang dua hari yang lalu. Selama dua hari itu mereka harus meminta belas kasihan kepada peziarah lain untuk berbagi roti karena mereka tidak mampu membeli apa-apa.
Di ujung pembicaraan ia bertanya apakah saya memiliki uang yang bisa diberikan kepada mereka. Saya bilang saya tidak membawa uang, karena saat itu saya memang tidak bawa. Untuk apa membawa uang ketika sedang melakukan ritual berjalan dan berlari-lari kecil di antara dua bukit tempat dulu Hajar mencari air untuk Ismail ini? Saya bilang sebagai gantinya saya akan mendoakannya. Dia mengucapkan terima kasih, dan saya pun kembali berjalan ke bukit Marwah.
Saya tidak tahu cerita lelaki itu benar atau sekedar karangannya saja. Di Indonesia cerita sedih semacam itu kebanyakan hanya alat untuk mendapatkan uang dari mereka yang terlanjur terjebak rasa haru, jadi wajar jika saya menyimpan rasa curiga. Tetapi entah ceritanya benar atau tidak, semoga lelaki dan keluarganya itu hari ini berada dalam keadaan yang baik.
***
Seorang kolega ayah saya bercerita, tempo hari ketika sedang melakukan tawaf, dia merasa seperti dibantu malaikat yang membawanya terbang mendekati Hajar Aswad. Setelah puas menciumi batu yang konon jatuh dari surga itu, kolega ayah saya tersebut ditepuk pundaknya oleh "malaikat" yang tadi membantunya. Dia dimintai uang yang cukup besar. Ternyata yang membantunya bukanlah malaikat, melainkan joki.
Itu kisah nyata, dan memang banyak joki-joki semacam itu yang berkeliaran di sekitar Ka'bah. Mereka seolah berniat membantu para peziarah untuk mendekati dan mencium Hajar Aswad, tetapi setelahnya akan meminta bayaran yang besar. Jika yang terlanjur dibantu menolak membayar, para joki itu lantas akan mengancam dengan memasang raut wajah yang menyeramkan.
Selain perjokian, pencurian juga kerap terjadi di kalangan peziarah. Beberapa tahun yang lalu kakak saya sempat kebingungan di Mekkah karena dompet dan ponselnya dicuri. Kemarin tas yang dibawa ibu saya menyisakan lubang bekas guntingan di bagian bawah. Untung saja tidak ada barang yang hilang. Jika cerita si lelaki Pakistan di atas benar-benar terjadi, maka dia dan keluarganya kemungkinan merupakan korban dari salah satu pencuri yang berkeliaran dengan licin seperti tikus.
Ada lagi kisah tentang pedagang yang tidak jujur, pembawa unta yang suka memeras peziarah di Jabal Rahmah, supir taksi yang kerap mengerjai penumpangnya, dan lain-lain. Kisah-kisah penuh tragedi semacam itu banyak terselip di antara peziarah yang datang ke tanah suci untuk berserah diri. Berserah diri pada Yang Maha Menerima tentu saja, bukan berserah diri pada pencuri, penipu, dan pemeras.
Kemudian saya sadar. Tanah suci, atau apa pun yang memiliki kata suci di belakangnya, letaknya di atas Bumi, tempat segala kemungkinan bisa terjadi. Kesucian ditaburi oleh ketidaksucian-ketidaksucian yang berbaur nyaris lebur di dalamnya. Ketidaksucian bernama sisi gelap manusia.
Saya mencari asal suara itu di antara para peziarah yang sedang melakukan ritual Sya'i.
"Assalamu alaikum, brother..."
Saya menoleh ke belakang. Seorang lelaki berusia 30-an tersenyum kepada saya. Seorang gadis kecil dengan raut sedih berdiri di sampingnya. Ternyata betul, sapaan itu ditujukan kepada saya.
"Walaikum salam."
"Do you speak English?" tanyanya.
"Yes, a little..."
Maka berceritalah dia. Lelaki itu adalah peziarah asal Pakistan. Dia pergi ke Mekkah bersama istri dan anak perempuannya yang kira-kira masih berumur 6 tahun. Dia bercerita bahwa uang mereka hilang dua hari yang lalu. Selama dua hari itu mereka harus meminta belas kasihan kepada peziarah lain untuk berbagi roti karena mereka tidak mampu membeli apa-apa.
Di ujung pembicaraan ia bertanya apakah saya memiliki uang yang bisa diberikan kepada mereka. Saya bilang saya tidak membawa uang, karena saat itu saya memang tidak bawa. Untuk apa membawa uang ketika sedang melakukan ritual berjalan dan berlari-lari kecil di antara dua bukit tempat dulu Hajar mencari air untuk Ismail ini? Saya bilang sebagai gantinya saya akan mendoakannya. Dia mengucapkan terima kasih, dan saya pun kembali berjalan ke bukit Marwah.
Saya tidak tahu cerita lelaki itu benar atau sekedar karangannya saja. Di Indonesia cerita sedih semacam itu kebanyakan hanya alat untuk mendapatkan uang dari mereka yang terlanjur terjebak rasa haru, jadi wajar jika saya menyimpan rasa curiga. Tetapi entah ceritanya benar atau tidak, semoga lelaki dan keluarganya itu hari ini berada dalam keadaan yang baik.
***
Seorang kolega ayah saya bercerita, tempo hari ketika sedang melakukan tawaf, dia merasa seperti dibantu malaikat yang membawanya terbang mendekati Hajar Aswad. Setelah puas menciumi batu yang konon jatuh dari surga itu, kolega ayah saya tersebut ditepuk pundaknya oleh "malaikat" yang tadi membantunya. Dia dimintai uang yang cukup besar. Ternyata yang membantunya bukanlah malaikat, melainkan joki.
Itu kisah nyata, dan memang banyak joki-joki semacam itu yang berkeliaran di sekitar Ka'bah. Mereka seolah berniat membantu para peziarah untuk mendekati dan mencium Hajar Aswad, tetapi setelahnya akan meminta bayaran yang besar. Jika yang terlanjur dibantu menolak membayar, para joki itu lantas akan mengancam dengan memasang raut wajah yang menyeramkan.
Selain perjokian, pencurian juga kerap terjadi di kalangan peziarah. Beberapa tahun yang lalu kakak saya sempat kebingungan di Mekkah karena dompet dan ponselnya dicuri. Kemarin tas yang dibawa ibu saya menyisakan lubang bekas guntingan di bagian bawah. Untung saja tidak ada barang yang hilang. Jika cerita si lelaki Pakistan di atas benar-benar terjadi, maka dia dan keluarganya kemungkinan merupakan korban dari salah satu pencuri yang berkeliaran dengan licin seperti tikus.
Ada lagi kisah tentang pedagang yang tidak jujur, pembawa unta yang suka memeras peziarah di Jabal Rahmah, supir taksi yang kerap mengerjai penumpangnya, dan lain-lain. Kisah-kisah penuh tragedi semacam itu banyak terselip di antara peziarah yang datang ke tanah suci untuk berserah diri. Berserah diri pada Yang Maha Menerima tentu saja, bukan berserah diri pada pencuri, penipu, dan pemeras.
Kemudian saya sadar. Tanah suci, atau apa pun yang memiliki kata suci di belakangnya, letaknya di atas Bumi, tempat segala kemungkinan bisa terjadi. Kesucian ditaburi oleh ketidaksucian-ketidaksucian yang berbaur nyaris lebur di dalamnya. Ketidaksucian bernama sisi gelap manusia.