Namanya Reva. Nama panjangnya Revanjani Mehrunisa Awandini. Dia adalah salah satu dari tujuh keponakan saya. Umurnya jika tidak salah masih tiga tahun. Dua tahun yang lalu saya dan dia berada dalam satu mobil selama lebih dari lima belas jam dalam perjalanan mudik yang tersendat-sendat antara Bandung-Kutoarjo. Entah mengapa, interaksi-interaksi antara saya dan dia selama dalam perjalanan tersebut membentuk ikatan emosional yang lebih erat jika dibandingkan dengan saya dan keponakan yang lain.
Reva mempunyai teman khayalan bernama Ani. Berdasarkan ceritanya, si Ani ini duduk di kelas 4 SD. Ayahnya si Ani sudah meninggal, tapi suatu hari "dihidupkan" lagi oleh Reva. Setelah hidup lagi, ayahnya Ani dipenjara. Ketika ditanya kenapa ayahnya Ani dipenjara, Reva menjawab karena ayahnya Ani meminjam laptop pak polisi tapi tidak mau mengembalikannya.
Cerita tentang teman khayalan itu mengembalikan memori masa kecil saya. Ternyata setelah diingat-ingat, dulu juga saya sempat punya teman khayalan. Teman khayalan saya itu tinggal di dalam cermin. Jadi ketika saya bercermin, saya tidak pernah menganggap sosok yang saya lihat adalah bayangan diri saya sendiri, melainkan orang lain. Kebetulan saja saya dan dia sedang melakukan kegiatan yang sama: memandang cermin. Kami --saya dan teman khayalan saya itu-- kerap kali berjanji untuk bertemu. Jika saya akan pergi dengan keluarga saya, malamnya saya akan memberitahunya dan kami berjanji untuk bertemu keesokan harinya di tempat yang akan saya tuju sembari saling memperkenalkan keluarga masing-masing. Tentu saja dia tidak pernah datang.
Sebenarnya mudah untuk memahami fenomena teman khayalan pada anak kecil. Teman khayalan merupakan sekumpulan gagasan dan imajinasi anak yang diproyeksikan ke dalam sosok manusia di luar dirinya. Sifat-sifat maupun atribut-atribut yang melekat pada si teman khayalan berhubungan langsung dengan informasi-informasi yang didapat oleh anak, baik dari keluarga, teman, benda-benda di sekitarnya, maupun media informasi seperti televisi. Contohnya, ketika tempo hari saya bertanya, "si Ani sedang apa?", dia menjawab, "sedang dimakan raksasa, ayahnya dimakan ikan hiu". Saya tidak kaget dengan jawaban itu, karena beberapa jam sebelumnya, kakak-kakak sepupunya memamerkan foto-foto mereka yang seolah sedang dimakan Frankenstein, ikan hiu, dan lain-lain di pameran lukisan Trick Art Japan. Konsep-konsepnya soal "meninggal" atau "dipenjara" saya duga dia dapatkan dari infotainment dan sinetron yang seringkali luput dari pengawasan orang di dewasa di sekitarnya.
Kemarin sore saya menyuapinya makan bakso. Karena makannya tak juga habis (karena disambi lari kesana-kemari), saya sedikit mengancamnya:
"Ayo abisin, entar si Ani gak mau jadi temen kamu lagi lho."
(diam sebentar) "Biarin.."
"Loh kok biarin?"
"Biarin, si Ani bukan temen aku kok."
"Terus temen siapa?"
"Si Ani mah temennya si Dodong."
"Hah? Dodong tu siapa?"
"Ya itu, temennya si Ani..."
Laah, ada tokoh baru lagi ternyata.