Saturday, September 15, 2012
Tuesday, September 4, 2012
gegas
"The world is changing, music is changing, even drugs are changing."
-Diane, Trainspotting
Ya, lagi-lagi tentang perubahan. Topik yang sepertinya tak akan pernah berhenti diperbincangkan oleh manusia. Masalahnya, makhluk bernama perubahan ini memiliki pola kedatangan yang acak yang seringkali membuat kita terhenyak, mati-matian mencari pegangan agar tidak remuk terhantam olehnya. Seperti yang terjadi pada hidup saya beberapa waktu belakangan ini, sederetan perubahan --dari yang besar sampai yang remeh-temeh-- berkumpul, berpilin saling mengait dan menjelma sebuah gelombang raksasa yang mengguyur saya yang kemudian menimbulkan efek yang bermacam-macam.
Keponakan saya sudah tujuh, Facebook dengan semena-mena telah mengganti tampilan profile seluruh penggunanya dengan timeline yang minta ampun menyebalkannya, kamera saya si Diego yang telah menjadi teman yang menyenangkan selama lebih dari tiga tahun baru saya jual tadi siang, The Cabin in the Woods akhirnya keluar juga setelah penantian selama tiga bulan, seseorang yang dekat dengan saya baru saja menikah. Sementara yang paling mendebarkan adalah, saya sudah bukan mahasiswa lagi. Artinya, dalam beberapa waktu ke depan saya sudah harus benar-benar berdiri di atas kaki saya sendiri, secara finansial lebih tepatnya. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun saya benar-benar berpikir untuk pergi meninggalkan Jogja, bergabung dengan working-class hero (atau working-class zero menurut istilah teman saya).
Apakah saya sudah siap? Belum! Lagipula saya kira yang benar-benar siap menghadapi perubahan adalah mereka yang tidak pernah bermasalah dengan perubahan. Sementara saya masih memiliki penyakit untuk mengutuki perubahan yang membuat kenyamanan saya terganggu. Penyakit yang juga diidap oleh sebagian besar masyarakat dunia. Pada akhirnya, masalah sebenarnya bukanlah pada siap atau tidak siap, melainkan pada mau atau tidak mau. Super klise memang, tetapi manusia telah berevolusi dari primata yang berburu ketika lapar dan menciptakan perkakas hanya ketika dibutuhkan menjadi makhluk super sibuk yang merasa dirinyalah yang memutar dunia, sehingga berdiam diri berarti mati. Jadi mari kutuki perubahan lebih sedikit, sebelum dia yang mengutuk kita.
-Diane, Trainspotting
Ya, lagi-lagi tentang perubahan. Topik yang sepertinya tak akan pernah berhenti diperbincangkan oleh manusia. Masalahnya, makhluk bernama perubahan ini memiliki pola kedatangan yang acak yang seringkali membuat kita terhenyak, mati-matian mencari pegangan agar tidak remuk terhantam olehnya. Seperti yang terjadi pada hidup saya beberapa waktu belakangan ini, sederetan perubahan --dari yang besar sampai yang remeh-temeh-- berkumpul, berpilin saling mengait dan menjelma sebuah gelombang raksasa yang mengguyur saya yang kemudian menimbulkan efek yang bermacam-macam.
Keponakan saya sudah tujuh, Facebook dengan semena-mena telah mengganti tampilan profile seluruh penggunanya dengan timeline yang minta ampun menyebalkannya, kamera saya si Diego yang telah menjadi teman yang menyenangkan selama lebih dari tiga tahun baru saya jual tadi siang, The Cabin in the Woods akhirnya keluar juga setelah penantian selama tiga bulan, seseorang yang dekat dengan saya baru saja menikah. Sementara yang paling mendebarkan adalah, saya sudah bukan mahasiswa lagi. Artinya, dalam beberapa waktu ke depan saya sudah harus benar-benar berdiri di atas kaki saya sendiri, secara finansial lebih tepatnya. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun saya benar-benar berpikir untuk pergi meninggalkan Jogja, bergabung dengan working-class hero (atau working-class zero menurut istilah teman saya).
Apakah saya sudah siap? Belum! Lagipula saya kira yang benar-benar siap menghadapi perubahan adalah mereka yang tidak pernah bermasalah dengan perubahan. Sementara saya masih memiliki penyakit untuk mengutuki perubahan yang membuat kenyamanan saya terganggu. Penyakit yang juga diidap oleh sebagian besar masyarakat dunia. Pada akhirnya, masalah sebenarnya bukanlah pada siap atau tidak siap, melainkan pada mau atau tidak mau. Super klise memang, tetapi manusia telah berevolusi dari primata yang berburu ketika lapar dan menciptakan perkakas hanya ketika dibutuhkan menjadi makhluk super sibuk yang merasa dirinyalah yang memutar dunia, sehingga berdiam diri berarti mati. Jadi mari kutuki perubahan lebih sedikit, sebelum dia yang mengutuk kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)