Hah. Kau memang candu. Dan aku tak ubahnya pecandumu yg tolol. Sejenak pandanganku tertuju pada kotak kayu lapuk yang berdebu. Entah mengapa masih tersimpan disana. Tak terjamah. Membukanya? Untuk apa? Jika hanya akan membuatmu menang.
Akhirnya kudekati juga kotak kayu lapuk itu, kuangkat dari kolong lemari, kubersihkan debunya, kucermati, masih seperti dulu. Buka? Jangan! Buka? Jangan! Buka! Persetan! Akhirnya kubuka juga, dan tampaklah sesuatu yang meramu kegetiran: sepotong jari dengan cincin emas di pangkalnya.
Tak pernah ingat bagaimana awalnya. Bagaimana siluet wajahmu rupanya terekam inderaku begitu dalam, hingga mereka kemudian berkonspirasi memantulkan gaungnya ke mana-mana. Detik dimana aku jatuh cinta dan tak bisa berpaling. Ya, jatuh. Dan terperosok ke dasar paling dalam. Sangat dalam, sehingga membuatku berjarak dengan cahaya, dengan realita, dengan logika. Dasar lubang serupa ujung sumur yang tak terkira. Lubang penyimpan gelap yang pekat, yang perlahan membutakan. Kebutaan yang menyiksaku dgn kenyataan betapa kau sangat mencintai wanita itu.
Mataku menerawang ke sudut kamar yang dingin. Nafasku tersengal, terhimpit sesak. Memandang jari yang tergeletak lemah dalam kotak ini membuatku muak sekaligus...rindu. Rupanya rindu ini begitu pahit hingga aku menangis lagi. Dan untuk kesekian kalinya, kau menang, sayang. Kupandangi jari ini, saksi dari betapa cinta dan obsesi bagaikan jam pasir, yang masing-masing bagiannya perlahan memenuhi yang lain. Betapa cemburu ternyata setajam sembilu. Sampaikan salamku pada wanita itu, istri mudamu, yang kini membuat jariku berjumlah sembilan.
*ditulis secara bergantian bersama Clay.