Tuesday, October 25, 2011

me strange old mate

Bandung bagi saya hari ini terasa seperti kawan yang telah lama sekali tidak berjumpa: saya tidak lagi mengerti bahasanya, apa yang dia bicarakan, apa yang dia kenakan, dan apa yang dalam pikirannya. Kami sudah tidak bisa lagi lama-lama bercengkerama, karena masing-masing dari kami telah berada di dunia yang berbeda yang tidak memungkinkan bagi kami untuk menjelaskan dengan tepat dunia kami agar masing-masing dari kami mengerti satu sama lain. Yah, everything's changing, eh?

nasionalisme komodo

"Dukung Pulau Komodo menjadi keajaiban dunia dengan cara mengetik komodo dan kirim ke 9818"
Semenjak kalimat itu bertebaran di berbagai media, bukannya ikutan mengirim SMS, justru saya merasa aneh. Aneh karena kenapa juga keajaiban dunia harus ditentukan lewat polling SMS, dan makin aneh karena banyak orang yang merasa perlu untuk mendukung upaya absurd tersebut.

Oke saya akui, saya bukan seorang nasionalis. Saya tidak pernah menonton Timnas Indonesia bertanding walau pun berulang kali diajak teman. Selain tidak suka sepak bola, saya juga selalu geli sendiri dengan "nasionalisme dadakan" dalam acara semacam itu. Saya tidak pernah mencintai negara ini seperti orang lain di negeri mencintainya. Bukan, bukan karena pemerintah di sini (katanya) korup, bukan karena rakyat di sini (katanya) pemalas dan plagiat. Atau bukan berarti saya tidak menghargai jasa para pahlawan yang (katanya) berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Saya hanya tidak pernah setuju dengan konsep bernama "negara", di mana sebuah wilayah bisa dikuasai dan didominasi oleh manusia. Sebuah konsep di mana manusia-manusia di dalamnya sibuk berkompetisi dengan penduduk negara lain bahkan untuk sebuah hal paling aneh sekalipun. Sebuah konsep di mana manusia di dalamnya bersusah payah membuktikan untuk membuktikan pada diri mereka sendiri bahwa mereka lebih baik dalam segala bidang dari manusia-manusia dari teritori lain.

Bukan berarti saya membenci Indonesia beserta segala isinya. Saya selalu ingin pergi ke Belitung, saya selalu ingin melihat Anak Krakatau dari dekat, saya ingin ke Aceh dan menikmati kopi kala pagi di sana, saya selalu merasakan kesenangan setiap kali membaca cerita wayang, saya selalu ingin bertemu dengan Suku Dayak dan Baduy Dalam di daerah asli mereka, saya selalu merasa Bali adalah tempat terdamai di Bumi, dan Raja Ampat adalah surga yang harus saya datangi suatu hari. Maka ketika saya mendambakan dan menyukai hal-hal tersebut, bukan berarti saya mencintai Indonesia, kebetulan saja hal-hal tersebut terdapat dalam wilayah yang dilabeli "Indonesia". Sama jika saya berkata selalu ingin mengunjungi Eropa, bukan berarti saya lebih menyukai Eropa dibanding Indonesia. Tapi kebetulan saja "Eropa" terletak di Eropa. Aneh? Tidak juga.

Lagipula menurut saya hari ini nasionalisme adalah barang mewah, barang eksklusif. Banyak orang dengan kreatifnya mendandani nasionalisme agar terlihat menarik, tapi justru hal-hal tersebut membuatnya menjadi lucu. Satu contoh, penulisan Indonesia yang sering ditulis dengan "indONEsia" dengan atau buku yang ditulis oleh seorang presenter TV yang diberi judul "Nasional Is Me". Bukankah lucu, jika untuk menunjukkan kecintaan dan loyalitas untuk sebuah negara saja harus menggunakan bahasa dari negara lain? Maksud saya, apa bahasa Indonesia begitu memalukannya untuk digunakan? Apa mereka lupa ada sesuatu bernama "sumpah pemuda"? Pengaruh globalisasi? Mengimbangi progesivitas zaman? Blah!

Oke cukup, balik lagi ke komodo. Saya tidak tahu bagaimana ceritanya sampai untuk menentukan tujuh keajaiban dunia yang baru mereka harus memutuskannya lewat polling SMS. Tetapi sekali lagi, kenapa juga keajaiban dunia harus ditentukan lewat SMS? Keajaiban tetap akan menjadi keajaiban dengan atau tanpa persetujuan dari orang banyak. Saya sempat kaget setelah mengetahui ternyata Borobudur tidak pernah masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia, padahal selama belasan tahun saya dicekoki oleh informasi bahwa Borobudur adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Lalu saya sadar, dengan atau tanpa masuk daftar keajaiban dunia versi manapun, saya tetap menganggap Borobudur adalah keajaiban, dan saya tetap menyukainya.

Kemudian tadi siang saya lihat di berita, Pulau Komodo terancam kalah dari bursa keajaiban karena mendapat saingan dari Malaysia, yaitu kadal air raksasa yang konon mirip biawak. Baik komodo atau pun kadal air raksasa yang akhirnya menang, menurut saya kemenangan bukan milik mereka, tapi milik manusia yang mendapat keuntungan darinya. Kata pemerintah jika Pulau Komodo menjadi keajaiban baru, pendapatan warga NTT akan meningkat seiring meningkatnya jumlah wisatawan yang datang. Lalu bagaimana nasib para komodo itu? Bukan kah mereka menjadi ajaib karena merupakan hewan yang berhasil bertahan hidup dari dinamika alam selama jutaan tahun? Jika Pulau Komodo kelak menjadi semakin populer, bukan kah akan semakin banyak manusia yang datang ke sana? Dan bukankah itu malah akan membuat para komodo itu menjadi terbiasa dengan manusia, kemudian menjadi jinak dan lama-lama kehilangan naluri "komodo"-nya? Lalu apa ajaibnya hal semacam itu?

Komodo yang malang, bertahan hidup jutaan tahun hanya untuk menjadi tontonan makhluk baru bernama manusia.

Thursday, October 13, 2011

gathering storm

"terbuat dari apakah kenangan?"
karena pada suatu kala
mereka yang pernah singgah dalam kepalamu
akan berhamburan keluar
tanpa aba-aba
tanpa pertanda
tanpa tata krama
 tidak ada lagi yang bisa dipercaya
tidak ada lagi yang bisa dipegang
bahkan tidak juga kau sendiri
karena bukankah kau sendiri
juga berubah?
juga tak betah terbang satu arah?
sementara Tuhan sudah jenuh
untuk kau ajak berkeluh
dan ternyata
tidak pernah ada akhir
ini adalah lingkaran
dengan pengulangan
yang tersamarkan
jadi,
"terbuat dari apakah kenangan?"

Sunday, October 2, 2011

awalan, di sisi lain juga merupakan akhiran dari sesuatu yang sama

"i've got the best thing in the world
coz i got you in my heart.." 


Entahlah, tiba-tiba saja lagu itu berputar terus dalam kepala saya sepanjang perjalanan menyusuri Selokan Mataram. Kemudian kami sampai di sebuah warung (atau kafe? atau kedai? apalah itu namanya) yang menjual susu murni dengan berbagai varian rasa. Sebuah tempat yang sebenarnya kami sesali untuk mendatanginya karena belakangan kami baru sadar bahwa itu adalah semacam tempat --emm, maaf-- gaul.

Maka di tengah-tengah para manusia yang sebagian besar sibuk menunduk menekan-nekan benda plastik milik mereka dan suara lagu-lagu populer yang diputar dengan volume kelewat besar oleh operator dari balik meja kasir, kami duduk sambil menyeruput susu dingin rasa nangka dan teh hijau yang kami pesan sambil sesekali mengomentari orang-orang sekitar kami, dari mulai sekelompok anak remaja yang duduk di pojokan yang tampak seperti gabungan antara pesulap, anak band, dan Justin Bieber dengan pakaian serba hitam mereka yang ganjil sampai stasiun televisi yang belakangan gemar membayar pelawak-pelawak tidak lucu (mungkin mereka bukan pelawak, tapi dengan tendensi untuk menjadi lucu dan menghibur yang mereka bawa, toh predikat "pelawak tidak lucu" pas juga untuk dilekatkan pada mereka) untuk mendakwahkan pesan-pesan keagamaan.

Iya saya tahu saya seharusnya memang tidak perlu mengomentari remaja, apalagi penampilannya, karena remaja memang seharusnya seperti itu, dan toh dulu juga mungkin saya sama anomalinya seperti mereka. Dan iya televisi memang sudah brengsek dari sananya, dan membicarakan lagi kebrengsekannya sebenarnya adalah hal yang sia-sia. Tapi membicarakan hal yang tidak perlu dibicarakan dan sia-sia sebenarnya perlu juga dalam saat-saat tertentu. Bukankah manusia adalah yang makhluk yang senang ngrasani? Senang berkomentar? Jadi ya perlu juga, kebutuhan psikologis kok.

"i've got the best thing in the world
coz i got you in my heart.." 


Tiba-tiba lagu itu terdengar dari speaker yang volumenya perasaan makin besar saja. Wah Tuhan sedang bercanda, pikir saya dalam hati sambil saya senyum-senyum sendiri yang juga dalam hati. Ini mungkin pertanda. Lalu saya mulai saja percakapan itu.

"Jadi gimana menurut kamu?"
"Tentang apa?"
"Tentang kita.."

Dan sederet dialog lanjutan yang berakhir beberapa saat setelah lagu itu berakhir. Kami pun bersalaman, memulai sesuatu yang harus saya akui memang telah membuat saya harus menelan kembali apa yang selama ini telah saya muntahkan, tentang relasi, tentang hubungan antar manusia, tentang perasaan, dan hal-hal semacamnya.

Cinta adalah perangkap, dan malam ini saya telah melepaskan segala bentuk pertahanan diri untuk membiarkan diri saya terperangkap begitu saja.